Study Ekskursi ini dilakukan pada hari Senin malam yang diberangkatkan pada pukul 22.00 WIB. Para mahasiswa pun sangat antusias dalam mengikuti kegiatan yang telah dirancang sedemikian rupa. Dosen-dosen pun tidak ketinggalan dalam mengikuti kegiatan ke luar kampus ini. Perjalanan kita melewati kota Bangkalan kemudian menuju ke jembatan Suramadu yang menjadi kebanggaan Madura dimana lampu-lampu yang indah menyinari setiap laju roda bus yang kami tumpangi. Sekitar pukul 03.30 WIB, kami sampai di sebuah tempat peristirahatan untuk mengisi perut. Foto-foto indah pun mengisi perjalanan kami, mulai dari foto mahasiswa yang tertidur pulas sampai bapak dosen yang terlihat terlalu ceria.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah di Sekolah Alam yang terletak di salatiga. Sekolah ini bisa disebut sebagai komunitas belajar bersama dimana para anak didiknya lebih diutamakan untuk mengembangkan keterampilan dan potensi yang ada dalam dirinya. Kami pun sempat berbincang-bincang dengan pendiri sekolah alam tersebut yaitu Ahmad Bahrudin,
Ahmad Bahruddin, seorang aktivis organisasi petani resah melihat keadaan siswa-siswa usia sekolah di desanya, Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Sebagian besar penduduk desa itu adalah petani dan hidup dengan sangat sederhana. Untuk bersekolah, anak-anak di desanya harus berangkat ke desa lain atau ke kota Salatiga yang jaraknya cukup jauh. Tak heran jika banyak anak yang akhirnya tak melanjutkan ke tingkat SMP karena keterbatasan biaya.
Tak ingin keadaan tersebut terus berlanjut, Bahruddin ingin mendirikan sebuah sekolah berbasis komunitas, murah, dekat, dan yang terpenting tak membatasi anak. Ia pun mengumpulkan 30 orang tetangganya untuk mewujudkan ide tersebut.
"Saya tawarkan ke mereka pendidikan alternatif yang seluruh proses belajar bersumber tak hanya dari guru, tapi juga lingkungan alam dan sosial. Konsepnya hampir mirip dengan home schooling (sekolah rumah) di Amerika, hanya saja di sini biayanya lebih murah," ceritanya.
Akhirnya, tepat awal tahun pelajaran 2004, ada 12 orang siswa yang mendaftar jadi angkatan pertama. Sekolah itu bernama Qaryah Thayyibah dan hanya memiliki dua ruangan di rumah Baharuddin sebagai kelasnya. Ada sembilan orang guru yang mengajar, itu pun kawan-kawan Baharuddin sendiri,
Menurut prinsipnya, sekolah harus memenuhi kebutuhan anak. Pagar dan gedung sekolah adalah dua di antara fasilitas yang biasanya ada di sekolah, namun ternyata tak diperlukan. Ia pun meminta murid-muridnya untuk mendata fasilitas yang paling mereka butuhkan. Ternyata jawabannya adalah komputer dan jaringan internet.
"Kedua hal inilah yang memungkinkan tersedianya informasi yang tak terbatas," katanya.
Untung saja, teman Baharuddin, yang juga pengusaha jasa jaringan internet, mau membantu. Tak hanya itu, ia juga mencari cara agar setiap anak bisa memiliki komputer di rumah mereka masing-masing. Setelah mendapat sponsor, komputer pun dibagikan ke anak dan harus dibayar dengan cara mencicil. Cukup Rp1.000 setiap hari.
"Dengan komputer anak bisa mengerjakan tugas di rumah lebih semangat. Selain itu, mereka juga membawa pengetahuan baru ke rumah. Kalau orang tua atau saudara mereka mau belajar, tentu si anak bisa mengajarkan," ujarnya.
Dalam proses belajar, Qaryah Thayyibah tak mau mengekang anak. Siswa dibebaskan belajar apa saja sesuai keinginan mereka. Tempat belajarnya pun terserah mereka, apakah di kelas atau di luar kelas.
Siswa Qaryah Thayyibah juga diajak untuk berkarya melalui kesenian atau kegiatan apa saja yang mereka senangi. Saat ini, siswa sekolah tersebut sudah menghasilkan sebuah album dolanan anak, yang akhirnya digunakan untuk membantu pembiayaan sekolah.
Di sekolah ini, siswa mendapatkan pelajaran keterampilan bermain alat musik. Mereka wajib belajar memainkan gitar di sini. Anak-anak tersebut juga dilatih untuk bisa mendengar, berbicara, membaca, dan mencoba menulis dalam Bahasa Inggris. Bahkan anak-anak itu akan diperkenalkan dasar-dasar TOEFL. Target itu tidak dirasakan sebagai beban oleh murid-muridnya karena semua dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Tiap hari Sabtu anak-anak diajak berdiskusi dalam Bahasa Inggris di alam terbuka.
Dalam hal prestasi pun mereka tak ketinggalan. Fina, salah seorang siswa, pernah meraih juara kedua penulisan artikel Bahasa Inggris se Klaten, mengalahkan seorang mahasiswa dan guru. Selain itu, ia juga sudah menulis delapan buku, salah satunya berjudul "Lebih Asyik Tanpa UAN".
Buku itu, sebenarnya merupakan proyek penentu kelulusannya. Hanya tiga dari 12 siswa Qaryah Thayibah yang mengikuti UAN. Fina sendiri, ikut karena ingin menulis tentang UAN dan ingin mendapatkan pengalaman mengikuti UAN.
"Anak-anak yang lain tidak mau. Awalnya Fina sempat diledek temannya, tapi dia punya alas an sendiri. Setelah itu, anak-anak yang lain juga ikut, itupun karena permintaan orang tua, saya sendiri tak mengharuskan mereka," katanya.
Baharuddin berpinsip, ijazah atau legalitas, sebenanrya tak dibutuhkan dalam mencari ilmu pengetahuan. "Legalitas itu berikutnya. Yang penting pengajaran ini berorientasi pada kehidupan, bukan ilmu pengetahuan. Ketika anak-anak sudah bisa menjawab pertanyaan dan bermanfaat bagi kehidupan, menurut saya legalitas tak perlu lagi," kata Baharuddin.
Strategi pendidikan yang dilakukan Baharuddin bisa dibilang sebuah alternatif bagi dunia pendidikan. Ia meyakini bahwa setiap anak unik dan pada hakikatnya cerdas. Maka itu, ia memberi kepercayaan pada anak dalam mengembangkan diri mereka.
Sebagai contoh, adalah penentuan seragam sekolah. Setiap kelas berembug dan menentukan sendiri seragam mereka, baik jenis, warna, ataupun modelnya. "Saat ini ada lima kelas dan ada lima seragam yang berbeda di sekolah kami," ucapnya sambil tertawa.
Jika ada guru yang mengeluh tentang siswa, susah diatur atau tak mau belajar, maka yang salah adalah gurunya. Selama ini, katanya, anak selalu jadi korban dari guru yang mau mengatur anak. Potensi dan kreativitas mereka dimatikan karena guru memaksakan kehendak mereka.
Sebagai contoh adalah pelajaran menggambar. "Tak semua anak senang dan memiliki potensi dalam bidang ini. Dalam satu kelas, paling hanya tiga atau empat anak yang senang menggambar, sisanya menggambar karena disuruh, makanya gambar mereka itu-itu saja. Jika guru menugaskan murid untuk menggambar, mengumpulkan gambar, dan menilai, saat itulah guru sudah membunuh potensi anak. Karena dia dibayar, berarti guru adalah pembunuh bayaran," ujarnya.
Awalnya, Qaryah Thayyibah berbentuk sekolah terbuka, yang masih mengacu pada sekolah induk. Hanya saja, menurut Baharuddin, siswa sering mereka "direcoki" oleh sekolah induk. Atas permintaan anak-anak juga, ia "memutuskan" hubungan dengan sekolah induk dan mengajukan status pendidikan luar sekolah ke Dinas Pendidikan setempat. Saat ini, ia masih menunggu status tersebut keluar.
kami menuju
Selain itu, guru juga terjebak pada kurikulum sebagai produk. Guru selalu memaksa anak mengonsumsi kurikulum yang sebenarnya ditentukan pemerintah pusat. Padahal, harusnya kurikulum hanya menjadi pijakan untuk menjadikan siswa sumber pembelajar.
"Biarkan mereka belajar tanpa sekat dan manfaatkanlah segala sumber yang ada," katanya.
Tak ingin keadaan tersebut terus berlanjut, Bahruddin ingin mendirikan sebuah sekolah berbasis komunitas, murah, dekat, dan yang terpenting tak membatasi anak. Ia pun mengumpulkan 30 orang tetangganya untuk mewujudkan ide tersebut.
"Saya tawarkan ke mereka pendidikan alternatif yang seluruh proses belajar bersumber tak hanya dari guru, tapi juga lingkungan alam dan sosial. Konsepnya hampir mirip dengan home schooling (sekolah rumah) di Amerika, hanya saja di sini biayanya lebih murah," ceritanya.
Akhirnya, tepat awal tahun pelajaran 2004, ada 12 orang siswa yang mendaftar jadi angkatan pertama. Sekolah itu bernama Qaryah Thayyibah dan hanya memiliki dua ruangan di rumah Baharuddin sebagai kelasnya. Ada sembilan orang guru yang mengajar, itu pun kawan-kawan Baharuddin sendiri,
Menurut prinsipnya, sekolah harus memenuhi kebutuhan anak. Pagar dan gedung sekolah adalah dua di antara fasilitas yang biasanya ada di sekolah, namun ternyata tak diperlukan. Ia pun meminta murid-muridnya untuk mendata fasilitas yang paling mereka butuhkan. Ternyata jawabannya adalah komputer dan jaringan internet.
"Kedua hal inilah yang memungkinkan tersedianya informasi yang tak terbatas," katanya.
Untung saja, teman Baharuddin, yang juga pengusaha jasa jaringan internet, mau membantu. Tak hanya itu, ia juga mencari cara agar setiap anak bisa memiliki komputer di rumah mereka masing-masing. Setelah mendapat sponsor, komputer pun dibagikan ke anak dan harus dibayar dengan cara mencicil. Cukup Rp1.000 setiap hari.
"Dengan komputer anak bisa mengerjakan tugas di rumah lebih semangat. Selain itu, mereka juga membawa pengetahuan baru ke rumah. Kalau orang tua atau saudara mereka mau belajar, tentu si anak bisa mengajarkan," ujarnya.
Dalam proses belajar, Qaryah Thayyibah tak mau mengekang anak. Siswa dibebaskan belajar apa saja sesuai keinginan mereka. Tempat belajarnya pun terserah mereka, apakah di kelas atau di luar kelas.
Siswa Qaryah Thayyibah juga diajak untuk berkarya melalui kesenian atau kegiatan apa saja yang mereka senangi. Saat ini, siswa sekolah tersebut sudah menghasilkan sebuah album dolanan anak, yang akhirnya digunakan untuk membantu pembiayaan sekolah.
Di sekolah ini, siswa mendapatkan pelajaran keterampilan bermain alat musik. Mereka wajib belajar memainkan gitar di sini. Anak-anak tersebut juga dilatih untuk bisa mendengar, berbicara, membaca, dan mencoba menulis dalam Bahasa Inggris. Bahkan anak-anak itu akan diperkenalkan dasar-dasar TOEFL. Target itu tidak dirasakan sebagai beban oleh murid-muridnya karena semua dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Tiap hari Sabtu anak-anak diajak berdiskusi dalam Bahasa Inggris di alam terbuka.
Dalam hal prestasi pun mereka tak ketinggalan. Fina, salah seorang siswa, pernah meraih juara kedua penulisan artikel Bahasa Inggris se Klaten, mengalahkan seorang mahasiswa dan guru. Selain itu, ia juga sudah menulis delapan buku, salah satunya berjudul "Lebih Asyik Tanpa UAN".
Buku itu, sebenarnya merupakan proyek penentu kelulusannya. Hanya tiga dari 12 siswa Qaryah Thayibah yang mengikuti UAN. Fina sendiri, ikut karena ingin menulis tentang UAN dan ingin mendapatkan pengalaman mengikuti UAN.
"Anak-anak yang lain tidak mau. Awalnya Fina sempat diledek temannya, tapi dia punya alas an sendiri. Setelah itu, anak-anak yang lain juga ikut, itupun karena permintaan orang tua, saya sendiri tak mengharuskan mereka," katanya.
Baharuddin berpinsip, ijazah atau legalitas, sebenanrya tak dibutuhkan dalam mencari ilmu pengetahuan. "Legalitas itu berikutnya. Yang penting pengajaran ini berorientasi pada kehidupan, bukan ilmu pengetahuan. Ketika anak-anak sudah bisa menjawab pertanyaan dan bermanfaat bagi kehidupan, menurut saya legalitas tak perlu lagi," kata Baharuddin.
Strategi pendidikan yang dilakukan Baharuddin bisa dibilang sebuah alternatif bagi dunia pendidikan. Ia meyakini bahwa setiap anak unik dan pada hakikatnya cerdas. Maka itu, ia memberi kepercayaan pada anak dalam mengembangkan diri mereka.
Sebagai contoh, adalah penentuan seragam sekolah. Setiap kelas berembug dan menentukan sendiri seragam mereka, baik jenis, warna, ataupun modelnya. "Saat ini ada lima kelas dan ada lima seragam yang berbeda di sekolah kami," ucapnya sambil tertawa.
Jika ada guru yang mengeluh tentang siswa, susah diatur atau tak mau belajar, maka yang salah adalah gurunya. Selama ini, katanya, anak selalu jadi korban dari guru yang mau mengatur anak. Potensi dan kreativitas mereka dimatikan karena guru memaksakan kehendak mereka.
Sebagai contoh adalah pelajaran menggambar. "Tak semua anak senang dan memiliki potensi dalam bidang ini. Dalam satu kelas, paling hanya tiga atau empat anak yang senang menggambar, sisanya menggambar karena disuruh, makanya gambar mereka itu-itu saja. Jika guru menugaskan murid untuk menggambar, mengumpulkan gambar, dan menilai, saat itulah guru sudah membunuh potensi anak. Karena dia dibayar, berarti guru adalah pembunuh bayaran," ujarnya.
Awalnya, Qaryah Thayyibah berbentuk sekolah terbuka, yang masih mengacu pada sekolah induk. Hanya saja, menurut Baharuddin, siswa sering mereka "direcoki" oleh sekolah induk. Atas permintaan anak-anak juga, ia "memutuskan" hubungan dengan sekolah induk dan mengajukan status pendidikan luar sekolah ke Dinas Pendidikan setempat. Saat ini, ia masih menunggu status tersebut keluar.
kami menuju
Selain itu, guru juga terjebak pada kurikulum sebagai produk. Guru selalu memaksa anak mengonsumsi kurikulum yang sebenarnya ditentukan pemerintah pusat. Padahal, harusnya kurikulum hanya menjadi pijakan untuk menjadikan siswa sumber pembelajar.
"Biarkan mereka belajar tanpa sekat dan manfaatkanlah segala sumber yang ada," katanya.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju ke hotel tempat penginapan kami yang ada di yogyakarta dalam waktu empat jam, kamipun merasa capek kemudian beristirahat. pagi harinya pukul 8.30 kami meuju ke Universitas Negeri Yogyakarta untuk melakukan study banding antara PGSD UNY dan PGSD UTM. kami pun kaget setelah melihat kampus yang megah, mewah, yang berada di tengah kota Yogyakarta. Kampus ini memiliki 4 kampus yang berada di sekitar wilayah Yogyakarta.
Sebelum kami bertemu dengan para petinggi kampus ini, kami berkunjung di museum pendidikan Indonesia yang museum tersebut merupakan hasil dari media-media pembelajaran buatan mahasiswa UNY tersebut. Alat-alat mulai jaman penjajahan, sampai jaman modern pun dipampang di museum tersebut sehingga kami pun dapat mengambil pelajaran dari melihat barang-barang bersejarah tersebut. Kami juga dapat melihat sketksa pembelajaran jaman dahulu sampai model pembelajaran saat ini. lengkap dah pokoknya...
Setelah itu kami bertemu dengan para petinggi UNY Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) yang mengarahkan kami dan menjelaskan tentang bagaimanakah PGSD di UNY. Yang dapat kami ambil dalam studi banding adalah cara dari UNY untuk memfasilitasi mahasiswanya sehingga mahasiswa mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Tidak hanya dalam ruang lingkup pendidikan, namun mahasiswa PGSD UNY mampu mengikuti lomba-lomba yang berseberangan dengan bidang mereka seperti ikut lomba kelautan di UNAIR.
Kemudian kami menuju ke salah satu cabang kampus UNY yang berada tidak jauh dari gedung pusat UNY. Di sana merupakan bangunan tua yang kesannya seperti sekolahan, namun itu adalah salah satu kampus UNY dimana prodi PGSD dan PG PAUD belajar. Kepengurusan HIMA juga terpusat pada gedung tua peninggalan zaman penjajahan belanda tersebut. banyak hal yang bisa kami ambil dari wawancara dengan para mahasiswanya yang berpakaian seragam sangat rapi. Kegiatan mereka setelah perkuliahan yaitu memaksimalkan potensi mereka dengan menggunakan fasilitas-fasilitas belajar yang ada seperti berlatih tari, belajar kelompok, bermain tenis meja, berorganisasi, dll.
Kami pun pulang dengan membawa ilmu yang bermanfaat yang Insya Allah dapat dikembangkan di kampus kita tercinta. Universitas Trunojoyo Madura. Hahahaha.
Foto-foto Kegiatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar